Kamis, 31 Juli 2008

Kedudukan Wanita dalam Islam

I. Pendahuluan


Kedudukan wanita dalam masyarakat bukanlah merupakan issue yang baru dan juga bukan sesuatu yang telah ditetapkan sepenuhnya.


Posisi Islam dalam hal ini telah menjadi sorotan dunia Barat dengan tingkat objektivitas yang sangat kurang.


Artikel ini bertujuan untuk memberikan penjalasan yang singkat dan otentik mengenai pandangan Islam berkenaan dengan hal ini. Ajaran islam bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah (hadits).


Al Qur’an dan Hadits secara jelas dan tanpa bias menjadi sumber otentik dari segala hal yang berkenaan dengan agama Islam.


Artikel ini dimulai dengan penjelasan singkat mengenai kedudukan wanita pada jaman pra-Islam. Kemudian berfokus pada pertanyaan utama berikut ini: Apa posisi agama Islam dalam memandang status wanita dalam masyarakat? Seberapa jauh kemiripan dan perbedaan dengan ”keadaan saat itu“, yang dominan pada saat Islam pertama kali didakwahkan? Bagaimana hal tersebut jika kemudian dibandingkan dengan ”hak-hak“ yang diperoleh wanita pada dekade sekarang ini?


II. Sudut Pandang Sejarah

Salah satu tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk menggambarkan suatu evaluasi yang adil terhadap kontribusi Islam (atau yang gagal dikontribusikan islam) terhadap pengembalian harga diri dan hak-hak wanita. Untuk mencapai tujuan ini, mungkin akan berguna untuk melihat secara sepintas bagaimana perlakuan terhadap wanita secara umum di jaman dan agama sebelumnya, terutama agama-agama yang ada sebelum Islam. Namun demikian, sebagian dari informasi yang dipaparkan disini merupakan gambaran kedudukan wanita pada akhir abad 19, lebih dari 12 abad sejak Islam pertama kali diturunkan.

Wanita di Zaman Kuno


Menjelaskan kedudukan perempuan dalam masyarakat India, dalam Encyclopedia Britanica dinyatakan:


Di India, kepatuhan merupakan prinsip yang paling utama. Siang dan malam wanita harus dijaga dan tergantung kepada penjaganya – kata Manu. Peraturan hak waris merupakan bagian keturunan laki-laki, dimana hubungan darah melalui laki-laki dan mengabaikan perempuan.

Dalam script Hindu, pemaparan mengenai isteri yang baik adalah sebagai berikut, ”wanita, yang pikirannya, perkataannya dan tubuhnya selalu berada dalam ketundukan, memperoleh kemasyuran yang tinggi di dunia, dan selanjutnya, tinggal bersama suaminya.“

Di Athena, kedudukan wanita tidak lebih baik ketimbang di India dan Romawi.
“Wanita Athena selalu berada diposisi yang lebih rendah (minor), tunduk terhadap laki-laki – kepada ayah mereka, saudara laki-laki mereka atau keluarga laki-laki mereka.

Persetujuannya untuk menikah secara umum tidak dipandang perlu dan dia berkewajiban untuk patuh terhadap keinginan orang tuanya, dan menerima suaminya ataupun tuannya, meskipun dia adalah orang asing baginya.


Perempuan Rowami digambarkan oleh para sejarahwan sebagai, “bayi, mahluk rendah, anak kecil, seseorang yang tidak mampu berbuat atau melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya, seseorang yang terus-menerus berada dalam penjagaan dan pengawasan suaminya.

Dalam Encyclopedia Britanica, kita menemukan ringkasan mengenai status legal perempuan dalam masyarakat Romawi.


Dalam hukum Romawi, wanita dalam masa sejarah sangat tergantung sepenuhnya. Jika menikah, dirinya dan hartanya berpindah tangan dalam kekuasaan suaminya… seorang isteri merupakan harta yang dapat diperjualbelikan bagi suaminya, dan layaknya budak hanya dibutuhkan untuk keuntungannya (suami – pent). Wanita tidak dapat bekerja di sektor publik, tidak dapat menjadi saksi, penjamin, pengajar, kurator, dia tidak dapat mengadopsi atau diadopsi, membuat surat wasiat atau kontrak.


Dalam masyarakat Skandinavian, perempuan adalah :

Dalam perwailan terus-menerus, tidak perduli dia menikah atau tidak. Sampai denngan Code of Chrisitan V pada akhir abad ke 17 telah ditetapkan bahwa jika seorang perempuan menikah tanpa pesetujuan pengawasnya, dia dapat –jika dia mau – memetik hasil darinya selama hidupnya.


Menurut English Common Law


…semua harta benda riil yang dimiliki seorang perempuan pada saat dia menikah menjadi milik suaminya. Dia (suami –pent.) berhak menyewakan lahannya, dan segala keuntungan yang didapatkan dari pengelolaan perkebunannya selama mereka menjadi pasangan suami isteri. Dengan berlalunya waktu, Hukum telah memikirkan cara untuk melarang seorang suami mengalihkan aset perkebunan tanpa persetujuan isterinya, namun ia tetap memiliki hak untuk mengelola dan memperoleh hasil yang diperoleh darinya. Sedangkan mengenai harta pribadi isteri, suami memiliki hak penuh. Dia memiliki hak untuk menggunakannya menurut kebutuhannya.


Hanya pada akhir abad ke 19 keadaan ini mulai berubah. “Dengan serangkaian peraturan, dimulai dengan Pengaturan Kepemilikan wanita menikah pada tahun 1870, yang diamandemen pada tahun 1882 dan 1887, wanita menikah memperoleh hak untuk memuliki harta pribadi dan memasukkan kontrak setaraf dengan perawan tua, janda ataupun bercerai. Pada akhir abad ke 19, penguasa pada masa itu, Sir Henr Maine, menulis, “Tidak ada suatu masyarakat yang memelihara segala pemahaman kelembagaan Kristen yang mungkin mengembalikan kebebasan pribadi kepada wanita yang telah menikah yang diberikan atas mereka oleh Hukum Pertengahan Romawi.”

Dalam esainya, The Subjection of Women, John Stuart Mills menulis:


“Kita secara terus menerus diberitahu bahwa peradaban dan Kristen telah mengembalikan hak dasarnya,. Sementara itu seorang isteri merupakan budak yang terikat terhadap suaminya, tidak kurang dari itu -sepanjang kewajiban menurut hukum yang berlaku- budak seperti pada umumnya.”


Sebelum mengarah pada ketetapan Al-Qur’an mengenai kedudukan wanita, beberapa ketetapan dalam Injil dapat memberikan keterangan lebih lanjut dalam permasalahan ini, sehingga memberikan dasar yang lebih baik untuk evaluasi yang tidak berat sebelah. Dalam Mosaic Law, Isteri adalah terikat (dari betrothed yang arti harafiahnya adalah dipertunangkan – pent.). Menjelaskan konsep ini Ensiclopedia Biblica menyatakan: “Untuk mengikat seorang isteri kepada seseorang berarti memperoleh kepemilikan atasnya sebagai pembayaran terhadap uang pembelian; Yang dipertunangkan adalah seorang gadis yang kepadanya uang pembelian dibayarkan.” Dalam sudut pandang hukum, persetujuan dari seorang gadis tersebut tidak diperlukan bagi keabsahan pernikahan tersebut. “Persetujuan sang gadis tidak diperlukan dan kebutuhan terhadapnya (persetujuan tersebut – pent.) tidak disebutkan dimanapun dalam hukum.”


Mengenai hak untuk bercerai, kita membaca dalam Ensiclopedia Biblica: “Wanita menjadi hak milik lelaki, haknya (suami –pent.) untuk menceraikannya merupakan hal yang biasa.” Hak untuk menceraikan hanya dimiliki oleh laki-laki. “Dalam Mosaic Law perceraian merupakan hak istimewa seorang suami saja…”


Posisi Gereja Kristen sampai dengan abad terakhir ini nampaknya telah diperngaruhi oleh Mosaic Law dan oleh jalur pemikiran yang dominant dalam budanya kontemporernya. Dalam buku mereka, Marriage East and West (Pernikahan Timur dan Barat), David dan Vera Mace menulis:


Jangan biarkan orang beranggapan, bahwa warisan ajaran Kristen kita pun bebas dari pandangan yang meremehkan seperti itu. Sulit untuk menemukan dimanapun sejumlah keterangan yang merendahkan kaum perempuan seperti yang disampaikan oleh para gerejawan di masa awal. Lecky, seorang sejarahwan terkemuka, berbicara mengenai (dorongan kuat ini yang membentuk tulisan para Pendeta sangat menyolok dan...perempuan digambarkan sebagai pintu neraka. Sebagai induk dari semua kesalahan manusia. Dia harusnya merasa malu dengan hanya dengan berpikir bahwa dia seorang perempuan. Dia harus selalu hidup dalam penebusan dosa sebagai akibat dari kutukan yang dibawanya ke dunia. Dia haru merasa malu terhadap pakaiannya, karena itu adalah kenangan terhadap kesalahannya. Terlebih lagi dia harus merasa malu dengan kecantikannya, karena itu adalah alat yang paling kuat bagi setan). Salah satu yang paling melukai dari serangan-serangan terhadap wanita adalah Tertullian. Tahukan anda bahwa setiap anda adalah Hawa? Ketetapan Tuhan atas jenis kalian hidup di masa ini, dan kesalahan pun tetap hidup. Engkau adalah jalan setan; engkaulah yang membuka jalan ke pohon terlarang itu, dan engkau adalah pembangkang pertama terhadap hukum yang telah ditetapkan; engkaulah yang membujuknya (laki-laki) ketika setan tidak mampu menyerangnya. Engkau menghancurkan gambaran Tuhan, laki-laki, dengan mudah. Dikarenakan penghianatanmu – kematian – bahkan tatanan Tuhan pun harus mati). Tidak saja gereja menegaskan kedudukan rendah wanita, ia juga mencabut hak-haknya yang telah dinikmati sebelumnya


III. Wanita dalam Islam

Di tengah kegelapan yang menelan dunia, wahyu bergema di belantara padang pasir luas di tanah Arab dengan pesan yang segar, mulia dan universal untuk manusia:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS An-Nisa : 1).


Para ulama menafsirkan ayat ini: “Telah diyakini bahwa tidak ada satu teks pun, baru ataupun lama, yang berhubungan dengan kaum wanita dalam seluruh aspek dengan begitu singkat, fasih, mendalam dan asli seperti ketetapan ayat di atas.
Menkankan pada konsepsi yang mulia dan alamiah, Al-Qur’an menyatakan:


“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. ". (QS Al-A’raf : 189)


“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri.” (QS Asy-Syura : 11)


“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS An-Nahl : 72)



Seluruh tulisan ini menguraikan secara garis besar posisi Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari berbagai aspek – spiritual, social, ekonomi dan politik.

1. Aspek Spiritual


Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al-Mumtahanah : 38)


“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS Al-Imran : 195)


“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl : 97, lihat juga An-Nisa).


Wanita menurut Al-Qur’an tidak untuk dipersalahkan terhadap kesalan pertama Adam alaihis-salam. Keduanya bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap Allah, keduanya memperoleh hukuman, dan keduanya mendapat ampunan. (QS Al-Baqarah : 26, Al-A’raf : 20 – 24). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an (surat Thahaa : 121), Adam secara khusus dipersalahkan.

Dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat puluh hari saat nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya. Dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Meskipun wanita boleh dan pernah mendatangi masjid pada masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan karenanya wanita boleh menghadiri shalat jumat sedangkan hal tersebut (shalat jumat) merupakan kewajiban bagi laki-laki.

Hal ini jelas merupakan sentuhan lembut ajaran Islam karena mempertimbangkan kenyataan bahwa mungkin wanita harus menyusui atau merawat bayinya, dan karenanya mungkin tidak dapat menghadiri shalat di masjid manakala waktu shalat tiba. Ajaran Islam juga mempertimbangkan keadaan perubahan fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan fungsi kewanitaan yang alamiah.


2. Aspek Sosial


a). Sebagai Anak dan Orang Dewasa


Bertentangan dengan penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam beberapa suku Arab, Al-Qur’an melarang hal tersebut, dan menganggapnya sebagai sebuah kejahatan pembunuhna:

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9).


Mengkritisi perbuatan yang dilakukan beberapa orang tua yang menolak kelahiran anak perempuan, Al-Qur’an menegaskan:


“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)


Lebih lanjut meneyelamtkan anak perempuan sehingga nantinya tidak menerima ketidakadilan dan ketidaksertaraan, Islam mengharuskan berpuatan baik dan adil kepadanya. Diantara perkataan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dalam hal ini adalah sebagai berikut:


“Barangsiapa yang memiliki anak perempuan dan tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak mempermalukannya, dan tidak melebihhkan anak laki-laki atasnya, Allah akan memasukkannya ke dalam surga. “ (HR Ahmad no. 1957).


“Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuannya sampai mereka dewasa, dia dan aku akan datang pada hari perhitungan seperti ini” (dan beliau menunjukkan dengan dua jarinya yang disatukan).


Hadits serupa juga juga berlaku untuk seseorang yang memelihara dua saudara perempuannya (HR Ahmad no. 2104).


Hak wanita untuk mencari ilmu tidak berbeda dengan laki-laki. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:


“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Al-Baihaqi). Muslim yang dimaksud disini adalah meliputi keduanya laki-laki dan perempuan.
b) Sebagai Isteri


Al-Qur’an jelas menunjukkan bahwa perkawinan adalah perpaduan antara dua setengah dari masyarakat, dan bahwa tujuannya, selain meneruskan generai manusia, adalah untuk pemuasan kebutuhan emosional dan keseimbangan spiritual. Landasannya adalah cinta dan kasih sayang.


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rumm : 21)

Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuannya.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, dan dia menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya untuk menikah tanpa persetujuannya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memberinya dua pilihan… (antara menerima pernikahan itu atau membatalkannya) (HR Ahmad no. 2469). Dalam riwayat lain, wanita itu berkata, “Sebenarnya saya menerima perkawinan ini tetapi saya ingin para wanita mengetahui bahwa orang tua tidak berhak (memaksakan seorang suami kepada mereka).” (HR Ibnu Majah no. 1873).


Selain apa yang diperoleh untuk melindunginya dalam masa perkawinan, telah diperintahkan secara khusus bahwa wanita memiliki hak penuh atas maharnya, hadiah perkawinan, yang diberikan kepadanya oleh suaminya dan hal tersebut termasuk dalam akad perkawinan, dan bahwa kepemilikan tersebut tidak dapat dipindahkan kepada ayahnya atau suaminya. Konsep mahar dalam Islam bukan merupakan harga actual atau simbolis dari seroang wanita, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa budaya, namun lebih pada hadiah yang melambangkan cinta dan ketertarikan.


Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar manusia. Dengan mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria dan wanita, keduanya mempunya hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan yang lain, kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan. Hal ini adalah sesuatu yang alami sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap keadaan alami pria.

Al-Qur’an menegaskan:


“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS Al-Baqarah : 228)


Kelebihan itu adalah Qiwamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Nanum peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi dictator atas isterinya. Islam menkeankan pentingnya nasehat dan persetujaun bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi kita contoh:


“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. “ (QS Al-Baqarah : 233)


Di atas hak-hak dasar seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang baik dan persahabatan.

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa : 19)


Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda:


“Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan saya adalah yang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.”


“Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)

Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena pemukulan) --- mereka (para suami tersebut) bukanlah yang terbaik untuk kalian.


Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian pernikahan membolehkannya.[7]

Lebih spesifik, beberapa aspek dalam hukum Islam yang berhubungan dengan pernikahan dan perceraian adalah menarik dan berharga untuk dibahas secara terpisah.

Manakala keberlanjutan sebuah pernikahan tidak memungkinkan karena beberapa alasan, laki-laki tetap diajarkan untuk mencari penyelesaian yang terbaik.


Untuk hal tersebut Al-Qur’an menegaskan:

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS Al-Baqarah : 231). (Lihar juga QS Al-Baqarah : 229 dan QS Al-Ahzab :49)


c) Sebagai Ibu


Islam mengajarkan kebaikan terhadap kedua orang tua setelah penyembahan kepada Allah.< “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman : 14)


Lebih lanjut, Al-Qur’an memberikan anjuran khusus bagi perlakuan baik terhadap ibu:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS Al-Israa’ : 23)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dan bertanya: “Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak aku pergauli degan baik?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR Bukhari-Muslim)

Sebuah perkataan terkenal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam: “Surga di bawah telapak kaki ibu.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad).[8]

“Orang yang dermawan (pada karakter) adalah mereka yang berakhlak baik terhadap wanita, dan yang jahat adalah yang mempermalukan mereka.”

3. Aspek Ekomomi


Islam menetapkan hak yang hilang dari wanita pada masa sebelum Islam dan sesudahnya (bahkan sampai abad ini), hak kepemilikian independent. Menurut hukum Islam, hak-hak wanita terhadap uang, real estate, dan jenis harta lainnya diakui secara penuh. Hak ini berjalan tanpa perubahan apakah dia bertatus belum menikah atau menikah. Dia memiliki hak untuk membelanjakan, menjual menggadaikan atau menyewakan apa saja dari hartanya. Tidak akan ditemukan dimanapun dalam hukum Islam yang menunjukkan bahwa wanita berkedudukan rendah hanya karena dia seorang wanita. Adalah juga penting bahwa hak tersebut berlaku untuk harta yang didapatkan sebelum menikah ataupun sesudahnya.


Mengenai hak wanita untuk bekerja, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peranan yang sangat suci dan penting. Tidak pembantu atau perawat anak dapat menggantikan tugas seorang ibu sebagai pendidik anak pada masa pertumbuhan dengan kebebasan kompleks dan membesarkannya dengan hati-hati. Tugas yang mulia dan vital ini, yang secara luas membentuk masa depan bangsa, tidak dapat dikatakan “tidak berbuat apa-apa”.

Namun demikian, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang melarang wanita bekerja manakala ada kebutuhan untuk itu, khususnya pada pekerjaan yang sesuai dengan kewanitaanya dan dimana masyarakat lebih memtuhkannya. Contoh dari profesi ini adalah perawat, pengajar (khususnya bagi anak-anak) dan pengobatan. Lebih lanjut, tidak ada batasan mengambil manfaat dari keahlian khusus wanita dalam bidang apapun. Bahkan dalam posisi sebagai hakim, dimana ada kecenderungan untuk meragukan kemampuan wanita pada posisi tersebut mengingat sifat emosional alamiahnya, kita temukan sebelumnya para ulama seperti Abu Hanifa dan At-Tabary menegaskan hal itu tidak mengapa. Selanjutnya, Islam mengembalikan hak wanita dalam hal warisan, setelah sebelumnya dia hanyalah objek yang diwariskan pada beberapa budaya. Warisannya adalah merupakan hak miliknya dan tidak ada yang dapat mengklaim warisan tersebut darinya, termasuk ayah dan suaminya.


“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS An-Nisa : 7)

Dalam hal ini bagian wanita adalah setengah dari bagian pria, ini tidak berarti bahwa wanita bernilai setengah daripada pria! Secara nyata akan terlihat tidak sejalan begitu banyak bukti perlakuan yang setara terhadap wanita untuk kesimpulan semacam itu. Perbedaan dalam hak waris ini hanya sejalan dengan perbedaan dalam tanggung jawab keuangan pria dan wanita menurut hukum Islam. Laki-laki dalam Islam bertanggung jawab sepenuhnya dalam memelihara isteri, anak-anak, dan dalam beberapa kasus keluarga yang membuthkan, khususnya perempuan. Kewajiban ini tidak terlepas atau berkurang karena kekayaan isterinya atau karena pendapatan yang diperoleh isterinya dari bekerja, sewa-menyewa, keuntungan, atau pendapatan halal lainnya.

Di sisi lain, wanita jauh lebih terjamin dalam hal keuangan dan tidak terbebani dengan segala jenis tuntutan terhadap harta pribadinya. Harta pribadi sebelum menikah tidak berpindah kepada suaminya dan dia bahkan tetap menggunakan nama aslinya sebelum menikah. Dia juga tidak mempunyai kewajiban untuk membelanjakan hartanya untuk keluarganya dari harta ataupun pendapatannya setelah menikah. Dia berhak mendapatkan mahar yang diperoleh dari suaminya pada saat menikah. Jika dia diceraikan, dia dapat memperoleh tunjangan dari mantan suaminya.


Pemeriksaan terhadap hukum waris dalam kesatuan kerangka hukum islam menunjukkan tidak saja Islam berlaku adil tetapi juga sangat menaruh perhatian pada wanita.
4. Aspek Politik

Penelitian yang adil terhadap ajaran Islam – ke dalam sejarah peradaban Islam tentu saja akan didapat bukti nyata bahwa wanita setara dengan pria dalam apa yang kita sebut hari ini ‘hak berpolitik”.

Hal ini termasuk hak untuk mengikuti pemilu dan juga dicalonkan dalam partai-partai politik. Hal ini juga termasuk hak wanita untuk ikut serta dalam masalah umum. Baik dalan Al-Qur’an maupun sejarah Islam kita akan menemukan wanita berpartisipasi dalam diskusi dan berargumen bahkan dengan Nabi sallallahu alaihi wasallam, (lihat QS Al-Mujadilah : 14, dan QS Al-Mumtahanah 10-12).

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radiallahu anha, seorang wanita membantahnya dalam masjid, membuktikan perkataaannya dan menyebabkan Umar mengumumkan pada hadirin, “Wanita ini benar dan Umar salah.”
Meskipun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satu hadits Rasulullah diartikan bahwa wanita tidak pantas menjadi pemimpin Negara. Hadits yang dimaksud kurang lebih berarti: “Tidak beruntung suatu masyarakat jika mereka memilih wanita menjadi pemimpin mereka.” Bagaimanapun juga, keterbatasan ini tidak ada hubungannya dengan martabat atau hak wanita. Hal ini lebih pada perbedaan alamiah dari segi biologis dan psikologis.
Menurut ajaran Islam, pemimpin suatu Negara tidak sekedar symbol. Dia memimpin masyarakatnya dalam shalat, khususnya pada shalat Jumat dan Ied, Dia secara terus-menerus terikat dalam proses pengambilan keputusan menyangkut masalah keamanan dan kemaslahatan masyarakatnya. Posisi yang penuh tuntutan ini, atau yang semisalnya, seperti pinpinan angkatan bersenjata, secara umum tidak sejalan dengan kondisi fisiologis dan psikologis wanita pada umumnya. Adalah fakta klinis bahwa dalam masa menstruasi dan kehamilan, wanita mengalami perubahan fisiologis dan psikologis. Perubahan seperti itu dapat terjadi dalam keadaan darurat, hingga mempengaruhi keputusannya, tanpa mempertimbangkan ketenganan yang berlebihan yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, beberapa keputusan membutuhkan rasionalitas maksimum dan emosionalitas minimum – sebuah kebutuhan yang tidak sejalan dengan naluri alami wanita.
Bahkan di zaman moderen, dan di negara-negara maju, sangat jarang dijumpai seorang wanita menjadi kepala negara, berperan lebih dari sekedar symbol, seorang wanita yang menjadi komandan angakatan bersenjata, atau bahkan jumlah proporsional wanita sebagai anggota parlemen, atau lembaga sejenis. Seseorang tidak mungkin menganggap hal ini sebagai ketertinggalan beberapa negara atau lembaga konsitusi terhadap hak-hak wanita untuk menduduki jabatan kepala pemerintahan atau anggota parlemen. Adalah lebih masuk akal untuk menjelaskan keadaan masa kini dalam batasan perbedaan natural dan tidak terbantahkan antara pria dan wanita, perbedaan yang tidak menyiratkan ‘supermasi’ pria terhadap wanita. Perbedaan ini lebih menyiratkan pada peran “saling mengisi” dari keduanya dalam kehidupan ini.

______________________________________
IV. Kesimpulan

Bagian pertama atikel ini menjelaskan secara ringkas posisi beberapa agama dan budaya terhadap isu yang sedang diteliti. Sebagian dari penjelasan diperluas untuk mencakup kecenderungan umum sampai pada abad ke 19, hamper 1300 tahun setelah Al-Qur’an meletakkan landasan ajaran Islam.


Pada bagian kedua dari tulisan ini, dipaparkan secara singkat status wanita dalam Islam. Penekanan pada bagian ini diletakkan pada sumber ajaran Islam yang asli dan otentik. Hal ini merepresentasikan standar sesuai dengan tingkat ketaatan seorang muslim dapat dinilai. Juga merupakan sebuah kenyataan bahwa dalam masa siklus menurun peradaban Islam, ajaran tersebut tidak ditaati secara penuh oleh banyak orang yang mengaku sebagai muslim.


Bias semacam ini telah dibesar-besarkan secara tidak adil oleh beberapa penulis, dan yang paling buruk adalah secara dangkal dihadirkan sebagai ajaran Islam kepada para pembaca Barat tanpa bersusah payah membuat studi yang orisinil dan tidak bias terhadap sumber asli ajaran Islam.Bahkan dalam bias seperti itu ada tiga bukti yang perlu dikemukakan:

1. Sejarah kaum Mulimin kaya dengan pencapaian besar wanita di sepanjang kehidupan dari awal abad ke 7 (SM).

2. Adalah tidak mungkin bagi siapa pun untuk menghakimi adanya perlakuan tidak sesuai terhadap wanita oleh ketetapan peraturan yang termaktub dalam hukum Islam, tidak juga seoranpun berani membatalkan, mengurangi, atau menyimpangkan hak-hak resmi wanita yang diberikan dalam hukum Islam.

3. Sepanjang sejarah, reputasi, kemurnian dan peran keibuan bagi wanita muslimah merupakan daya tarik bagi pengamat yang tidak berat sebelah.


Adalah juga bermanfaat menyatakan bahwa kedudukan yang dicapai wanita pada masa kini tidak diperoleh karena kebaikan kaum pria atau karena kemajuan zaman. Pencapaian lebih diebabkan oleh perjuangan panjang dan pengorbanan kaum wanita dan hanya ketika masyarakat membutuhkan kontribusi dan pekerjaannya, khususnya selama perang dunia ke dua, dan karena peningkatan perubahan teknologi.


Dalam kasus Islam, belas kasih dan derajat kedudukan yang demikian ditetapkan, bukan karena itu menggambarkan keadaan abad ke 7, juga bukan dibawah ancaman atau tekanan dari kaum perempuan dan organisasi-organisasinya, namun karena kebenaran hakikinya.

Jika hal ini menunjukkan sesuatu, hal tersebut akan menampakkan kehebatan asal-usul Al-Qur’an dan kebenaran pesan Islam, yang mana tidak seperti falsafah manusia dan ideology, jauh mendahului linkungan manusia, pesan yang menetapkan prinsip-prinsip kemnausiaan yang tidak usang karena waktu dan setelah beberapa abad, juga tidak akan menjadi usang di masa mendatang. Bagaimanapun juga, ini adalah pesan dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, yang kebijaksanaan dan pengetahuan-Nya diluar jangkauan manusia yang paling maju dan berkembang.

DAFTAR PUSTAKA


The Holy, Qur'an: Translation of verses is heavily based on A. Yusuf Ali's translation, The Glorious Qur'an, text translation, and Commentary, The American Trust Publication, Plainfield, IN 46168, 1979.


Abd Al-Ati, Hammudah, Islam in Focus, The American Trust Publications, Plainfield, IN 46168, 1977.


Allen, E. A., History of Civilization, General Publishing House, Cincinnati, Ohio, 1889, Vol. 3.

Tidak ada komentar: